Oleh: Syah Reza*
Setelah beberapa hari lalu disibukkan aktivitas dokumentasi di kantor, baru sore ini ada waktu luang untuk ngopi. Kopi memang menjadi teman yang sangat pas menstimulus nalar untuk berfikir dan berdiskusi.
Bersama seorang sahabat sekaligus guru dalam Ushul Fiqh Tgk. Khairul Badri, MA (Singkatan TKB) kita hanya duduk kurang lebih 1 jam ngopi di Dekmi Rukoh, Banda Aceh sambil diskusi ringan menjelang magrib.

Tak seperti biasanya dimana kita mendiskusikan tentang konsep ilmu dan dinamika keagamaan. Kali ini saya penasaran dengan budaya literasi di Mesir, tempat TKB menuntut ilmu. Setiap tahun Mesir sering mengadakan ma’radh (bazar buku) international. Kitab-kitab Ulama dijual dengan harga yang sangat murah, dengan cetakan yang cukup bagus. Bahkan kitab arab yang dipakai oleh dunia hingga saat ini hampir semuanya didominasi oleh percetakan Mesir. Kata TKB, padahal sebagian percetakan tidak berpusat di Mesir tetapi ada di Beirut, Lebanon dan di luar Mesir. Tetapi tradisi literasi dalam penerbitan kitab Arab khususnya Islam, Mesir masih menjadi referensi utama di dunia.
Kerja penerjemahan semua literatur dunia ke dalam Bahasa Arab memang menjadi kerja intelektual paling besar kontribusinya bagi peradaban Islam. Tujuannya untuk menciptakan sentralisasi keilmuan, selain menjaga Bahasa Arab sebagai bahasa ilmu. Peradaban yang besar biasanya menjaga budaya ilmu dengan serius. Bahkan, tampaknya literasi sudah menjadi budaya bagi masyarakat Mesir. Kalau benar demikian, tidak mustahil Mesir akan menjadi kota berperadaban (madinah al fadhilah).
Kerja literasi ini secara besar-besaran pernah dilakukan oleh Al-Kindi, seorang filosof muslim. Ia melakukan penerjemahan dengan membentuk tim ahli bahasa yang dikomandoi oleh Hunain Ibn Ishaq ntuk menerjemahkan semua naskah dari Peradaban besar di luar Islam ke dalam bahasa Arab, seperti literatur dari Babilonia, India, Parsi, Yunani, dan lainnya. Kerja intelektual tersebut adalah proses awal dalam menghidupkan tradisi keilmuan. Semua karya tersebut setelah diterjemahkan, kemudian disimpan di perpustakaan.
Tujuannya agar karya tersebut bisa diakses oleh umat islam yang kemudian menjadi sumber bagi perkembangan keilmuan Islam. Dengan berkembangnya ilmu, maka akan menjadi kekuatan dalam membangun peradaban.
Sekalipun Al-Kindi berada di kawasan Baghdad (wilayah Persia) tapi aktivitas keilmuan tersebut malah menjadi budaya di Mesir, yang sampai saat ini menjadi pusat literasi Islam. Tentu ada sejarah yang kuat kenapa Mesir yang punya kesadaran sejarah yang tinggi dalam hal ini dibanding negara Islam yang lain? Banyak hal yang mesti kita pikirkan untuk mewujudkan kerja literasi. Salah satunya yang terpenting adalah kesadaran berilmu.
Semoga Aceh bisa mengikuti Mesir dalam hal kesadaran literasi. Setidaknya reproduksi karya ulama Aceh yang punya kontribusi besar bagi Islam di kawasan Melayu dan Asia tenggara. Amin.
*Penulis adalah Peneliti di Islamic Institute of Aceh.