Belajar dari Fenomena Karoshi; Apa yang Kita Cari dari Kehidupan?

- Advertisement -
- Advertisement -

Oleh: Ihsan Sulis*

Di negara Jepang ada sebuah fenomena yang dikenal dengan nama Karoshi, yaitu fenomena kematian karena over-work (kelelahan bekerja), beberapa orang di negara tersebut yang diistilahkan dengan salaryman (manusia gaji) bekerja tanpa memikirkan kesehatan mereka tanpa peduli lelah, yang mereka kejar hanyalah bekerja, dapat penghasilan dan naik jabatan.

Tahun 2015 terungkap jumlah kematian karoshi di Jepang dalam 1 tahun terakhir mencapai 1.456 kasus, angka ini mencatat rekor tertinggi di Jepang. Fenomena ini terus mendapatkan perhatian serius bukan saja dari Pemerintah Jepang sendiri melainkan juga dari LSM Asing dan negara-negara lain, hingga perlahan kini fenomena kematian karena kelelahan bekerja ini mulai menurun.

Menurut data yang dikumpulkan oleh pemerintah Jepang, sekitar 22 persen orang Jepang bekerja lebih dari 49 jam seminggu bahkan menurut lembaga survei Japan Labor Force, 1 dari 5 orang pemuda di Jepang yang berusia 30-an tahun bekerja lebih dari 60 jam per minggu. Angka tersebut tergolong tinggi jika dibandingkan dengan Amerika Serikat yang memiliki persentase sebanyak 16 persen serta 11 persen di Perancis dan Jerman. Secara umum standar bekerja rata-rata negara di dunia adalah 40-44 jam per minggu.

Pekerja yang kelelahan hingga pingsa kerap ditemui di kota-kota Di Jepang. (redpepper.org.uk)

Di Indonesia sendiri berdasarkan Undang-Undang No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa jam kerja ideal karyawan adalah 40 jam dengan rincian : 1). Untuk karyawan yang bekerja 6 hari dalam seminggu, jam kerjanya adalah 7 jam dalam 1 hari dan 40 jam dalam 1 minggu. 2). Untuk karyawan dengan 5 hari kerja dalam 1 minggu, kewajiban bekerja mereka 8 jam dalam 1 hari dan 40 jam dalam 1 minggu. Ini artinya jam bekerja di Indonesia sudah ideal.

Balik ke fenomema karoshi, lantas bagaimana fenomena Karoshi ini jika dilihat dari sudut pandang Islam? Bagaimana bekerja dalam pandangan Islam? Untuk apa bekerja dalam pandangan Islam? Nah, Islam memandang bekerja adalah sebuah keharusan, Allah menjadikan siang sebagai waktu untuk kita mencari penghidupan dan malam untuk kita beristirahat, demikian firman-Nya dalam surah An-Naba’ ayat 11:

وَجَعَلْنَا اللَّيْلَ لِبَاسًا وَجَعَلْنَا النَّهَارَ مَعَاشًا

“Dan kami jadikan malam sebagai pakaian dan siang hari untuk mencari penghidupan,” di lain surah Allah juga mengingatkan kita;

فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِن فَضْلِ اللَّهِ

“Apabila telah selesai menunaikan shalat maka bertebarlah engkau dimuka bumi dan carilah karunia Allah” (QS. Al-Jum’ah [62]:10). Makna yang tersirat dari ayat ini adalah bekerja adalah diantara sunnatullah bagi kita manusia.

Tidak hanya sampai di situ, dalam kacamata Islam bekerja juga bisa bernilai ibadah bahkan jihad, dengan catatan niat bekerja yang benar dan kerja yang benar sesuai dengan tuntunan syariat. Niat bekerja hendaknya didasari karena Allah atau menunaikan kewajiban Allah seumpama menafkahi anak dan istri atau niat bekerja menjauhkan diri dari perilaku yang dibenci Allah seperti meminta-minta, mencuri dan merampas hak orang lain. Jika ini yang kita lakukan maka yakinlah pekerjaan kita bukan sekedar rutinitas biasa semata namun dibalik itu semua bernilai ibadah didalamnya.

Bekerjalah semaksimal mungkin namun ingat jangan sampai menjatuhkan diri dalam kebinasaan, fisik kita memiliki batas dan setiap anggota tubuh kita masing-masing juga memiliki hak-haknya yang harus dipenuhi. Bekerjalah sesuai porsi dan janganlah mudah tenggelam dalam hedonisme dan materialisme kehidupan yang kerap membuat kita gelap mata dalam berbuat.

Lihatlah kehidupan Baginda Nabi Muhammad ﷺ, Nabi menjadikan dunia hanya sebatas perantara untuk kehidupan akhirat hingga kebutuhan makan bagi Nabi hanya sebatas untuk menegakkan tulang punggung bukan karena Nabi tidak mampu, namun Nabi ingin mengingatkan kita bahwa bukan itu prioritas kita dalam hidup ini. Renungilah hadis ini:

مَا مَلأَ آدَمِيٌّ وِعَاءً شَرًّا مِنْ بَطْنِهِ حَسْبُ ابْنِ آدَمَ لُقَيْمَاتٌ يُقِمْنَ صُلْبَهُ فَإِنْ لَمْ يَفْعَلْ فَثُلُثٌ لِطَعَامِهِ وَثُلُثٌ لِشَرَابِهِ وَثُلُثٌ لِنَفَسِهِ

“Tidak ada wadah yang diisi oleh anak Adam yang lebih buruk dari perutnya, cukuplah baginya memakan beberapa suapan sekedar dapat menegakkan tulang punggungnya (memberikan tenaga), jika tidak mau maka ia dapat memenuhi perutnya dengan sepertiga makanan, sepertiga minuman dan sepertiga lagi untuk nafasnya.” (HR. Ahmad).

Demikianlah Nabi ﷺ menjadikan dunia hanya sebatas apa yang ia butuhkan dan untuk tujuan akhirat bukan untuk kepentingan pribadinya. Sehingga sosok beliau selalu terkesan dalam benak banyak kita sebagai sosok yang miskin, padahal Baginda Muhammad ﷺ adalah sosok yang kaya, beliau adalah businessman yang di usia 30-annya sudah mencapai level puncak financial freedom, meminjam istilah Syafi’i Antonio, yaitu level dimana uang bukanlah suatu kendala untuk melakukan hal besar (Muhammad Saw: Super Leader Super Manager, 2007).

Karena itu bekerjalah dengan tujuan akhirat, bekerjalah dengan niat beramal sholih, bekerjalah sebagai bekal amal setelah nantinya tiada, Allah mengingatkan kita dalam firman-Nya;

مَنْ عَمِلَ صَٰلِحًا مِّن ذَكَرٍ أَوْ أُنثَىٰ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُۥ حَيَوٰةً طَيِّبَةً  وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُم بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا۟ يَعْمَلُونَ

“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan” (QS. Surat An-Nahl [16]: 97).

*Penulis adalah staf pengajar di Madrasal ‘Ulumul Qur’an (MUQ) Bustanul Ulum, Langsa.

- Advertisement -

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

spot_imgspot_img

HEADLINES

BERITA TERKAIT