Carmel Budiarjo, Pejuang HAM untuk Aceh, Timor Leste dan Papua Tutup Usia

- Advertisement -
- Advertisement -

Jakarta – Carmel Budiardjo, pegiat hak asasi manusia yang berperan mengadvokasi berbagai pelanggaran HAM di Indonesia, mulai kasus 1965, Timor Leste, Aceh, serta Papua, meninggal dunia pada usia 96 tahun, Sabtu (10/07) di London, Inggris.

Twitter TAPOL – organisasi yang didirikan Carmel – dalam cuitannya menyebutkan “Dengan kesedihan besar, kami sampaikan meninggalnya Carmel Budiarjo, pendiri kami, pada Sabtu pagi pukul 09:00.”

Semasa hidupnya, Carmel melalui TAPOL – singkatan dari Tahanan Politik – mengampanyekan dan mengadvokasi berbagai dugaan pelanggaran HAM berat di Indonesia.

“Dia bukan satu-satunya, tetapi dia berperan besar untuk memperjuangkan kemanusiaan di Indonesia. Kesadaran akan adanya pelanggaran HAM di Indonesia, suka-tidak suka, pasti akan melibatkan nama Carmel Budiardjo,” ujar Andreas Harsono, pegiat organisasi Human Rights Watch (HRW) Indonesia.

Ketika sebagian tapol 1965 mulai dibebaskan pada 1977 setelah didesak oleh Presiden AS Jimmy Carter, perhatian Carmel terhadap persoalan pelanggaran HAM di Indonesia, makin meluas.

Kemudian TAPOL mendokumentasikan peristiwa Tanjung Priok pada 1984, kekerasan dan pelanggaran HAM di Aceh hingga Timor Leste.

“Juga masalah di Papua,” kata Andreas Harsono kepada wartawan BBC News Indonesia, Heyder Affan, Jumat (11/06).

Di masa pemerintahan Orde Baru, Carmel dan organisasinya dianggap sebagai pihak yang selalu menghembuskan kabar negatif tentang Indonesia di panggung internasional.

Informasi yang dihimpunnya seringkali bertolak belakang dengan sikap resmi pihak berwenang Indonesia dan belum tentu boleh diwartakan di dalam negeri.

Namun Ketua Dewan TAPOL, Steve Aliston, mengatakan gambaran yang dibangun oleh pihak berwenang dan sebagian kalangan di Indonesia tentang Tapol “melenceng dari fakta”.

Carmel Budiardjo mulai dikenal setelah terlibat mengadvokasi nasib tahanan politik 1965 yang dibuang ke Pulau Buru, di penjara atau kamp penempatan tanpa diadili karena dicurigai terlibat G30S.

“Mereka tidak tahu TAPOL menempati setengah kamar di rumah tingkat dua dengan dua kamar tidur di London selatan,” ungkap Aliston, sambil terkekeh, dalam wawancara dengan wartawan BBC News Indonesia di London, Rohmatin Bonasir, pada Sabtu (12/06).

Ia kemudian mencontohkan peristiwa pemberian penghargaan Nobel Perdamaian kepada mantan Presiden Timor Leste Ramos Horta dan Uskup Ximenes Belo pada tahun 1996.

Ketika itu, Aliston mengingat, dirinya diwawancara oleh televisi BBC World Service atau CNN, sesaat setelah giliran Menteri Luar Negeri Indonesia Ali Alatas.

“Dalam proses interview itu, ia [Ali Alatas] menyebut ada organisasi-organisasi internasional dengan sumber daya besar, mencoreng nama Indonesia.

“Dan tentu, salah satu organisasi yang ia rujuk jelas-jelas adalah TAPOL,” katanya.

“Itu mengingatkan pengalaman saya ketika tinggal di Indonesia dulu. Ada gambaran yang dibesar-besarkan oleh para pembuat kebijakan, kalangan politikus di Indonesia bahwa organisasi TAPOL sejajar dengan Chatham House [lembaga pemikir berpengaruh di London] atau sebuah lembaga pemikir kebijakan luar negeri di Washington.

Padahal, “TAPOL adalah Carmel dalam konteks itu. TAPOL bukan organisasi yang besar,” tambahnya.

Jika sejak awalnya TAPOL mencetak buletin, selama 10 tahun belakangan organisasi itu beralih ke platform online. []

Sumber : BBCIndonesia

- Advertisement -

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

spot_imgspot_img

HEADLINES

BERITA TERKAIT