Sejak mencapai perdamaian pada tahun 2005 melalui MoU Helsinki, Aceh telah menjadi contoh dalam penyelesaian konflik bagi dunia internasional. Malik Mahmud, sebagai Wali Nanggroe, sering menerima tamu dari berbagai negara yang ingin mempelajari keberhasilan Aceh dalam mengakhiri konflik dan membangun kembali masyarakatnya. Perdamaian yang dicapai oleh Aceh tak hanya mengubah wajah wilayah ini di mata Indonesia, tetapi juga memberikan inspirasi bagi banyak negara yang menghadapi konflik serupa.
Misalnya pada Juli 2023, 31 anggota parlemen dari Daerah Otonomi Muslim Bangsa Moro Filipina, bersama para pemimpin daerah di Mindanao, mengunjungi Aceh. Mereka datang untuk belajar langsung tentang proses transformasi politik yang terjadi di Aceh, termasuk tantangan yang dihadapi dan pencapaian yang telah diraih sebagai wilayah dengan otonomi khusus paling unik di Indonesia. Bagi mereka, Aceh adalah contoh nyata tentang bagaimana perdamaian dapat diraih melalui negosiasi yang sulit dan komitmen yang kuat dari semua pihak yang terlibat.
Kunjungan delegasi Bangsa Moro ini memperlihatkan banyak kesamaan antara perjuangan mereka dan Aceh. Kedua wilayah memiliki latar belakang sejarah yang kaya, kesamaan agama, bentang alam yang serupa, dan menghadapi tantangan yang sama dalam mengupayakan hak-hak otonomi mereka. Namun, Aceh telah melangkah lebih maju dalam hal stabilitas dan pembangunan pascakonflik, sesuatu yang ingin dipelajari oleh delegasi Moro.
Malik Mahmud mengenang kembali sejarah panjang hubungan antara Aceh dan Bangsa Moro, yang dimulai sejak 1986 di Libya. Pada masa itu, keduanya saling bertukar pengalaman tentang perjuangan melawan kekuatan yang lebih besar. Kini, keduanya bertemu lagi, bukan sebagai pejuang di medan perang, tetapi sebagai sesama pencari solusi damai. Aceh, dengan segala pencapaiannya, memberikan pelajaran penting bagi Bangsa Moro dalam mengelola transisi menuju perdamaian yang berkelanjutan.
Selain delegasi dari Bangsa Moro, Aceh juga menarik perhatian dari pihak militer Thailand yang tengah mencari jalan keluar dari konflik di Thailand Selatan. Pada 14 Januari 2020, Panglima Angkatan Darat Kerajaan Thailand, Jenderal Apirat Kongsompong, berkunjung ke Aceh untuk bertemu dengan Malik Mahmud dan para pejabat militer Indonesia. Tujuan dari kunjungan ini adalah untuk mempelajari langsung bagaimana Aceh berhasil keluar dari konflik berkepanjangan melalui negosiasi dan perundingan.
Di Markas Komando Daerah Militer Iskandar Muda, Malik Mahmud menjelaskan langkah-langkah yang ditempuh dalam negosiasi antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah Indonesia. Ia menguraikan proses tawar-menawar, bagaimana kedua pihak menetapkan batas-batas yang bisa diterima, serta apa yang bisa disepakati untuk menjaga perdamaian. Seluruh proses ini akhirnya dituangkan dalam MoU Helsinki dan kemudian diterjemahkan ke dalam Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA). Proses tersebut menjadi contoh bahwa bahkan konflik yang tampak tak terjembatani sekalipun dapat diselesaikan melalui dialog yang penuh komitmen.
Jenderal Apirat menyatakan kekagumannya atas pencapaian Aceh. Ia mengakui bahwa meski Thailand Selatan telah diberikan otonomi khusus, banyak persoalan yang masih belum terselesaikan, terutama dalam mengatasi kesalahpahaman antara pemerintah pusat dan masyarakat lokal. Jenderal Apirat berharap bahwa pelajaran dari Aceh dapat membantu Thailand mengelola konflik internal mereka dengan lebih baik.
Bagi Malik Mahmud, peran Aceh sebagai contoh dalam upaya perdamaian dunia adalah pencapaian yang tidak bisa dianggap remeh. Aceh, yang dahulu dikenal karena perlawanan kerasnya terhadap kekuatan luar, kini menjadi tempat belajar bagi mereka yang ingin membangun masa depan tanpa kekerasan. Kunjungan dari delegasi Bangsa Moro dan Jenderal Apirat Kongsompong menunjukkan bahwa perdamaian di Aceh tidak hanya memberikan manfaat bagi rakyat Aceh sendiri, tetapi juga memiliki nilai bagi bangsa-bangsa lain yang menghadapi tantangan serupa.